Thursday, March 19, 2015

Pembaharuan Gampong Secara Partisipatif (Membangun Aceh Bag.2)

Untuk melakukan pengabdian pada masyarakat tidak cukup hanya NIAT saja, tapi harus disertai dengan kerja keras dan belajar keras, diantaranya dengan membaca referensi terkait dengan pengabdian yang kita lakukan, misalnya seperti saya karena melakukan pengabdian di Desa atau Gampong (bhs. Aceh) maka saya membaca referensi terkait seperti Buku Membangun Aceh dari Gampong dan Pembaharuan Desa secara Partisipatif, namun sayang sekali ternyata kedua buku tersebut ternyata tidak membahas persoalan yang saya butuhkan.

Buku Membangun Aceh dari Gampong dengan penulis Arie Sujito, Farid Hadi Rahman dkk, ternyata hanya membahas tentang riset monitoring mereka yang terkait dengan pemilihan Keuchik (kepala Desa) secara Langsung dan UU dan peraturan terkait, jadi secara umum mereka menekankan bahwa Pemilihan keuchik secara Langsung akan dapat membangun Aceh.

Sementara Buku dengan editor Purwo Santoso dengan Tim Penyusun diantaranya AAGN Ari Dwipayana, Abdul Gaffar Karim dll lebih merupakan pembahasan ulang Workshop yang bertajuk "Desentralisasi dan Good Governance di tingkat Desa".

Namun bukan berarti kedua buku ini tidak bagus, namun judul buku memang memberikan persepsi yang berbeda kepada kita sehingga kalau kita ingin mendapatkan jawaban bagaimana cara membangun Aceh dimulai dari Gampong secara keseluruhan dan terpadu, maka kita tidak akan menukannya dibuku ini, demikian juga bila kita mengharapkan bagaimana kita akan melakukan pembaharuan di desa secara partisipatif dengan bahasan yang mendalam dan ide-ide kratif untuk meningkatkan partisipatif masyarakat dalam pembaharuan desa, maka kita juga akan kecewa, buku ini hanya membahas sekitar workshop dan pembahasan yang dilakukan baik oleh komisi-komisi maupun sidang pleno.

Tapi karena buku ini pula saya mendapatkan ide atau pemikiran yang lebih mendalam bagaimana agar kegiatan pengabdian saya di tengah masyarakat akan mampu memberi kontribusi yang berarti bagai Pembangunan Aceh secara keseluruhan, dan karena buku ini pula saya mulai berpikir bagaimana membangkitkan animo masyarakat untuk ikut partisipatif dalam kegiatan pengabdian masyarakat/ pembinaan anak dan remaja yang saya lakukan saat ini.

Dan pada kesempatan ini saya juga akan membagikan pemikiran saya tentang pembaharuan gampong secara partisipatif - membangun Aceh dimulai dari membangun gampong.

Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan.

Sedangkan menurut Ndraha (1990), diacu dalam Lugiarti (2004), partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam / melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) partisipasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional, (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan.

Menurut Wikipedia, Partisipasi, sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara umum dan luas. Partisipasi adalah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena, di antara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM.

Dalam pengertian ini, partisipasi adalah suatu tujuan dalam dirinya sendiri; artinya, partisipasi mengaktifkan ide HAM (Hak Asasi Manusia0, hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan untuk memperkuat demokratif deliberative. 

Sebagai suatu proses dalam pengembangan masyarakat, partisipasi berkaitan dengan HAM dengan cara lainnya. Jika HAM lebih dari sekedar pernyataan dalam deklarasi yaitu jika partisipasi berakibat membangun secara aktif kultur HAM-sehingga menjamin berjalannya proses-proses dalam pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah suatu konstribusi signifikan bagi pembangunan kultur HAM, suatu kebudayaan yang partisipasi warga negaranya merupakan proses yang diharapkan dan normal dalam suatu upaya pembuatan keputusan. Dalam hal ini, partisipasi adalah alat dan juga tujuan karena membentuk bagian dari dasar kultur yang membuka terbukanya jalan bagi tercapainya HAM. 

Dalam partisipasi harus mencakup kemampuan rakyat untuk memengaruhi kegiatan-kegiatan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraanya. Arti partisipasi sering disangkut pautkan dengan banyak kepentingan dan agenda yang berbeda yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dan pembuatan keputusan secara politis. Dalam lain hal, Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban warga Negara untuk memberikan konstribusinya kepada pencapaian tujuan kelompok. Sehingga mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya. 

Keuntungan Dan Kerugian Partisipasi Masyarakat

Dengan mengacu pada berbagai referensi (Anon, 2000; Blumenthal, 2000, Dovers, 2000; Kapoor, 2001; serta UNDP, 2000), Thomsen (2003) memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat. Keuntungan dari partisipasi masyarakat adalah:
  1. Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: (a) meningkatkan representasi dari kelompok-kelompok komunitas, khususnya kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, (b) membangun perspektif yang beragam yang berasal dari beragam stakeholders, (c) mengakomodir pengetahuan lokal, pengalaman, dan kreatifitas, sehingga memperluas kisaran ketersediaan pilihan alternatif.
  2. Partisipasi membantu terbangunannya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara para stakeholders. Dengan melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan / proyek, hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan interpretasi tentang suatu isu / masalah.
  3. Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan menjamin bahwa solusi didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses pengambilan keputusan, maka para pembuat keputusan dapat memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan balik dari kalangan yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal dan akan lebih efektif.
  4. Partisipasi akan mendorong kepemilikan lokal, komitmen dan akuntabilitas. Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya hasil (outcomes) yang berkelanjutan dengan menfasilitasi kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang mengarah pada keberlanjutan akan terus berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih mungkin untuk diterima oleh seluruh stakeholders.
  5. Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial. Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap stakeholders tentang kegiatan / aksi yang dilakukan oleh stakholders lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi antar sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara para stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan modal sosial.
Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif adalah:
  1. Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah besar warga masyarakat. Partisipasi secara sadar atau tidak sadar dapat merugikan kepada mereka yang terlibat jika: (a) para ahli yang melakukan proses ini memanipulasi partisipasi publik untuk kepentingannya, (b) jika tidak direncanakan secara hati-hati, partisipasi dapat menambah biaya dan waktu dari sebuah proyek tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang nyata.
  2. Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek.
  3. Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan biaya yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya terdapat ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu tidak dapat dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang akut.
  4. Partisipasi dapat memperlemah (disempower) masyarakat. Jika proses partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumber daya untuk penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka partisipan dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena hanya sedikit hasil yang diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh masyarakat telah cukup besar.

Tipologi Partisipasi

Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan masyarakat dalam proses partisipasi yang didasarkan pada seberapa besar kekuasaan (power) yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kegunaan dari adanya tipologi partisipasi ini adalah: (a) untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat, (b) untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan (c) untuk menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja dari pihak-pihak yang melakukan pelibatan masyarakat.

Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969).
Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan.

1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian diikuti dengan tangga (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat.

2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).

4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.

Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.

7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.

8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapart kita tangkap bahwa sebenarnya yang dimaksud disini kebanyakan adalah partisipastif masyarakat terhadap program yang terkait dengan pemerintah, artinya kegiatan yang saya jalankan juga merupakan bentuk partisipatif saya terhadap program pemerintah baik untuk peningkatan SDM masyarakat, peningkatan minat baca, pemberdayaan masyarakat yang saat ini sedang digalakkan pemerintah.

Terlepas dari itu, dalam tulisan saya ini saya lebih menitik beratkan partisipatif masyarakat luas terhadap kegiatan pengabdian masyarakat / pemberdayaan anak dan remaja yang saya lakukan melalui Children Learning Center (Rumah Pintar dalam versi saya sendiri).

Mengapa perlu partisipatif masyarakat untuk hal ini, maka jawabannya dapat ditemukan dalam blog saya (http://ypkgm.blogspot.com dan http://rajaubit.blogspot.com) namun sekilas secara garis beras dapat saya katakan sbb:
1. Lembaga ini lahir dari keinginan tulus untuk membantu anak-anak dan remaja didaerah agar memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan sumber dayanya dengan fasilitas yang ada di Children Learning Center sama seperti anak-anak dikota-kota besar.
2. Proyek ini merupakan proyek besar yang tidak akan mampu ditangani sendiri oleh saya (berbeda dengan saat saya dirikan tahun 1994 hingga tsunami 24 Desember 2004, saat itu lingkup kegiatan saya masih kecil hanya sebatas kecamatan dan lalu meningkat ke tingkat Kabupaten/Kota, namun pasca tsunami kegiatan ini bergulir cepat bagaikan bola salju dan terus semakin besar).
3. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dari Kota Kecil Sabang, serta anak dari seorang PNS rendahan (Ayah saya hanyalah seorang Kepala Tata Usaha di SMA Negeri Sabang) maka saya tidaklah mewarisi harta, jangankan melimpah, mendapat predikat cukupanpun tidak, ayah saya hanya mewariskan 3 hal pada saya yaitu: 1. pikirkan dahulu apa yang akan kamu kerjakan, lalu bulatkan tekad, dan 2. untuk mencapai hasil yang baik: kerja keras dan belajar keras  serta yang terakhir jujurlah baik pada diri sendiri maupun orang lain. Lalu saya juga tidak memiliki kerjaan yang membuat saya dibayar mahal sehingga memiliki pendapatan yang besar, sehngga memiliki tabungan atau harta berlebih. Hal ini bila difikirkan membuat rasanya tidak pantas orang seperti saya memiliki sebuah Yayasan.
4. Kenyataan saya memiliki sebuah Yayasan kalau dipandang sekilas akan membuat orang berfikir wah hebat, namun memiliki sesuatu berarti pula kita mendapatkan sebuah tanggungjawab dipundak kita yang harus kita tanggung dan ini yang membuat saya berhenti dari pekerjaan saya sebelumnya, saya ingin fokus pada pengembangan Yayasan ini.
5. Point-point tersebut diataslah yang membuat proyek / yayasan saya ini perlu partisipatif dari masyarakat lainnya dalam bentuk :

a.. Dukungan Moril, baik saran dan kritik, ide-ide kreatif, pemikiran-pemikiran briliant yang sifatnya membangun sangat saya butuhkan.
b. Dukungan Insidentil, seperti yang dilakukan teman-teman saya di Millis Aceh Lon Sayang (greenaceh@googlegroup.com) yang memberikan saran dan kritik serta sumbangan semampunya (lebih dari 8 juta rupiah) ketika Perpustakaan saya mendapat musibah akibat serangan rayab sehingga lemari buku dan sekitar 200 eksemplar buku hancur akibat rayab tersebut)
Banyak program lainnya yang memerlukan dukungan seperti ini, misalnya disetiap awal tahun ajaran baru, saya selalu membuka penerimaan sumbangan buku tulis, tas, sepatu dan baju seragam sekolah untuk anak-anak tingkat SD dan SMP, Saat Ramadhan akan tiba, saya biasanya juga membuka kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyumbang baju koko, kain sarung, mukena dan sajadah untuk anak-anak serta orang tua jompo dan janda. dll
c. Dukungan Program, biasanya saya saat anak-anak tarian dan drama sudah jenuh berlatih, akan mengadakan pentas seni, dan untuk itu diperlukan dana sewa panggung, saound system dll, Ini juga membutuhkan dana, begitu juga dengan kegiatan mewarnai, lomba baca puisi dll yang biasanya saya adakan serentak dengan pentas seni, maka juga memerlukan bantuan untuk hadiah bagai anak-anak tersebut (Program ini biasanya saya adakah 3 kali dalam setahun).
d.  Donatur Tetap, Ini bisa pribadi seperti pengusaha, hartawan, dermawan dll, dan bisa dalam bentuk institusi seperti perusahaan, NGO besar, Yayasan besar lainnya, Pemerintah dll. Ini sangat diperlukan untuk biaya operasional Yayasan, Honor Pengurus Yayasan, Honor Relawan atau lebih tepatnya biaya transportasi. Ini yang belum saya peroleh.
e. Dukungan Finansial untuk usaha produktif, Dalam upaya untuk mandiri, maka saya membuka usaha produktif yang sifatnya mencari untung dimana sebagian keuntungannya untuk biaya operasional Yayasan, adapun usaha tersebut adalah:
- Usaha Jasa Photo copy dan ATK, namun karena keterbatasan dana dan pangsa pasar yang masih kecil maka kami hanya mengunakan  printer kecil dan mesin xerox kecil untuk photo copy
-Usaha Jasa Photo studio, baik untuk membuat pas photo, cetak photo, ataupun photo pernikahan, wedding dll, namun pemakai jasa masih sangat terbatas, kurang promosi.
-Usaha kelontong, usaha ini lumayan maju untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar
-Usaha Cofeeshop, usaha ini sudah lumayan maju karena berada dijalur wilayah wisata.

Namun karena kekurangan modal maka usaha ini bagaikan gali lubang tutup lobang saja. Hanya mampu menutup iuran Bank saja dan bila ada kebutuhan mendadak lainnya maka.....

Akhirnya saya sudahi sampai disini dahulu, semoga bermanfaat.




0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com