Saturday, April 11, 2015

ACEH (BAGIAN 3 MOMENT MASA LALU UNTUK MEMBANGUN MASA DEPAN )

Walaupun dalam bagian 1 Negativisme saya menyatakan bahwa kita jangan hanya membangga-banggakan masa lalu namun bukan berarti kita harus melupakan masa lalu Aceh baik masa ke jayaannya maupun masa yang penuh penderitaan, dan berangkat dari masa lalu inilah kita akan membangun masa depan Aceh sebagai suatu bangsa yang bermartabat dan mampu berdiri sejajar dengan suku bangsa lainnya di Indonesia bahkan bangsa-bangsa lainnya didunia.

Masa Kesultanan Iskandar Muda 
Sultan Iskandar Muda adalah putra dari Puteri Raja Indra Bangsa, keturunan keluarga Raja Darul Kamal dan ayahnya adalah Sultan Alauddin Mansur Syah yang merupakan putra Sultan Abdul Jalil bin Sultan 'Alaiddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar.
Besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul Mukadis pakal ilmu falak dan ilmu firasat.
Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau. Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari Gujarat.
Di antaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan  Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.
Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.
Dalam karya-karya penulis asing dan Indonesia tentang sejarah Aceh disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dan masyhur dalam deretan nama-nama sultan yang memerintah di Kesultanan Aceh. Di bawah pemerintahan sultan ini, Kesultanan Aceh dapat mencapai puncak kejayaannya dalam bidang hukum, politik, kemiliteran, ekonomi, agama, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya.
Dalam Bustanus Salatin karya Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat giat mengembangkan agama Islam di Kesultanan Aceh. Di setiap daerah diperintahkan mendirikan mesjid sebagai tempat Ibadah.  Selanjutnya, Bustanus Salatin juga memberikan gambaran  bahwa sultan adalah seorang yang shaleh dan taat beragama Islam. Ia selalu menganjurkan kepada rakyatnya supaya memeluk dan melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan sempurna.
Bermacam peraturan dikeluarkan untuk mencegah orang melanggar ajaran agama, seperti melarang orang berjudi dan minum-minuman keras. Selain itu, Iskandar Muda juga disebut sebagai sultan yang sangat pemurah. Setiap kali pergi shalat Jumat, ia tidak lupa membawa bermacam hadiah dan sedekah untuk diberikan kepada fakir miskin. Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga berhasil membuat ketetapan-ketetapan tentang tata cara yang berlaku di Kerajaan Aceh dan mengenai penggunaan stempel kerajaan yang dinamakan cab siekureuengatau stempel halilintar. Kumpulan ketetapan itu kemudian disebut dengan nama Adat Meukuta Alam.
Dengan demikian, budaya Aceh merupakan aspek peradaban yang tidak identik dalam pemahaman budaya pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan budaya juga bersumber dari nilai-nilai agama atau syariat yang menjiwai kreasi budayanya.  Roh Islami itu telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang akhirnya menjadi patron landasan budaya ideal dalam bentuk narit maja, “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Lakseumana”. Po Teumeureuhom, lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala, lambang hukum syariat atau agama dari ulama. Qanun, perundang-undangan yang benilai agama dan adat. Reusam merupakan tatanan protokuler atau seremonial adat istiadat dari ahli-ahli atau pemangku adat. Pengembangan nilai-nilai tatanan tersebut mengacu kepada sumber asas, yaitu “hukom ngon adat lagee zat ngon Sifeut “
Suatu peristiwa yang mengharukan dan menggetarkan setiap jiwa, ketika Sultan Iskandar Muda mengeksekusi mati anaknya sendiri (Meurah Pupok) sesuai dengan vonis pengadilan. Semua pembesar kerajaan pada waktu itu terdiam karena tidak berani membantah keputusan sultan. Menteri kehakiman yang bergelar Sri Raja Panglima Wazir berusaha membujuk, tetapi sultan tetap pada keputusannya. Sultan sendiri dengan tegas mengatakan apabila tidak ada seorang pun yang mau melakukan hukuman ini maka ia sendiri yang akan melakukannya. Sultan Iskandar Muda mengatakan, ”aku akan menerapkan hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.” Dari peristiwa inilah muncul ungkapan masyhur: mate aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita (’mati anak jelas kuburannya, hilang adat (hukum) ke mana hendak dicari’), maksudnya menegakkan hukum yang adil tanpa pilih tebang.
Perilaku Adil
Sebagai masyarakat muslim, orang Aceh selalu mengaitkan keadilan dengan ajaran Islam yang mereka yakini. Menurut ajaran Islam, keadilan atau bersikap dan berbuat adil, sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai wahyu dalam kehidupannya sehari-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, konsep keadilan yang dijalankan oleh sultan Aceh tersebut tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang  menganjurkan manusia berbuat adil. Untuk itu, muncul ungkapan dalam masyarakat Aceh, raja ade raja disembah, raja lalem raja disanggah (‘raja adil raja disembah, raja zalim raja dibantah’).
Perihal keadilan suatu yang didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial.
Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Untuk itu, para sultan yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang yang dikeluarkannya sebagai “pengingat” bagi setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kecuali dari kitab suci Alquran, belum dapat ditelusuri dari kitab mana sultan-sultan kesultanan Aceh mengambil ungkapan as-sultan al-adil untuk dicantumkan pada mata uang yang mereka keluarkan. Namun, dapat diduga bahwa sultan Aceh mendasarkannya pada Alquran Surat An-Nahl: 90 yang terjemahannya sebagai berikut, “sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran, dan kedurhakaan. Dia memberi pelajaran kepada mu agar kamu mengerti”. Ayat tersebut seperti yang didasarkan pada bukti kutipan yang termaktub dalam kitab Taj-al-Salatinatau Taju-as-Salatin, yaitu kitab Mahkota Segala Raja yang dikarang oleh Bukhari al Jauhari. Kitab tersebut berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam yang tersebar di kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. Sebagian ayat yang dikutib dari fasal ke-6 Taju-as-Salatin, yaitu Innallaha yakmurukum bil adli wal ihsan (’sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan’).
Sultan yang memerintah di Aceh menyadari bahwa jabatan adalah amanah yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat, di antaranya melalui perilaku adil. Para sultan yang memerintah di Aceh pada masa lalu begitu peka terhadap keadilan tersebut, jangan sampai  karena ketidakadilan, orang saling membunuh dan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Hal itu seperti yang dicontohkan oleh Sultan Iskandar Muda yang telah menghukum anaknya sendiri karena dianggap telah berbuat kesalahan. Oleh karena itu, ketika mendengarkan kata adil, orang Aceh selalu teringat dan merindukan masa lalunya, suatu masa yang katanya pernah mengantarkan masyarakatnya ke puncak kejayaan dalam segala bidang, terutama dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum dengan sungguh-sungguh, yaitu pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

8 (Delapan) wasiat Sultan Iskandar Muda

Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.
Kedua,    janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.

Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.

Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Kelima,  Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.

Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.
Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: “Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”. Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.

Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.

Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Sultan Iskandar Muda adalah keadilan itu berlaku bagi semua orang, bukan hanya bagi masyarakat kecil dan adakah kita mencontoh hal ini? Ini hal yang patut kita pertanyakan, karena saat ini pemerintahan Aceh ditangan orang Aceh yang telah berjuang demikian lamanya untuk Aceh, tapi nampaknya keadilan belum menjadi prioritas mereka, banyak kita dengar ketidakpuasan yang muncul bahkan sesama para pejuang itu sendiri, diantaranya saat salah seorang tokoh ditampar oleh teman seperjuangannya, dan lain sebagainya, seharusnya bila kita dalam berjuang dulu begitu mengagungkan dan menginginkan kembalinya masa-masa kejayaan Iskandar Muda maka kita tidak akan lupa dengan konsep keadilan yang diterapkan oleh Iskandar Muda sehingga dalam menegakkan keadilan ia rela menghukum pancung anaknya sendiri.
Oleh karena itu adalah omong kosong bila kita ingin membangun Aceh tapi tidak menerapkan konsep keadilan dalam pemerintahan kita, karena perihal keadilan suatu yang didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial.
Demikian juga, sudahkan kita menerapkan ke 8 wasiat Sultan Iskandar Muda? Bila kita memang ingin mengembalikan masa-masa kejayaan saat beliau memimpin, maka berarti pula kita harus berani mengikuti nilai-nilai luhur yang ada pada masa kepemimpinannya, ingatlah selalu ungkapan dalam masyarakat Aceh, raja ade raja disembah, raja lalem raja disanggah (‘raja adil raja disembah, raja zalim raja dibantah’).


Jangan biarkan ketidakadilan terus berlanjut ditengah-tengah masyarakat Aceh saat ini, dan bila hal ini terus berlanjut maka nantikanlah saat anda akan disanggah oleh rakyat Aceh.

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com