ACEH
(TRANSPARANSI SEJARAH DAN BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA GENERASI MUDA ACEH DIMASA DEPAN)
BAGIAN 1
NEGATIVISME
Cukup
banyak tulisan tentang Aceh dan masyarakatnya yang ditulis orang, baik oleh
orang Aceh sendiri, maupun orang asing, terutama Belanda yang banyak menulis dalam
konteks peperangan di Aceh pada masa kolonial Belanda.
Namun
kita belum menemukan sebuah tulisan yang membatasi diri pada pencapaian atau
pengembangan sumber daya masyarakat Aceh dalam pembangunan secara keseluruhan,
bukan hanya terpaku pada bangga diri yang berlebihan tentang betapa heroiknya
para pahlawan Aceh selama perang Aceh dimasa Kolonial Belanda, ataupun kebanggaan
Aceh sebagai daerah modal dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, tapi
kita akan bicara tentang makna yang seharusnya kita petik dari sejarah
peperangan yang maha dasyat tersebut.
Bila
berbicara tentang Aceh dan masyarakat Aceh saat ini, maka kita akan mendengar
berbagai keprihatinan, kepedihan yang mendalam dalam helaan nafas masyarakat
Aceh itu sendiri saat mengangkat bicara tentang dirinya, masyarakatnya, Aceh secara
keseluruhan.
Sungguh
tidak mudah untuk melepaskan diri dari lingkungan negativisme dalam perjalanan
menuju pembangunan masyarakat Aceh yang mampu menegakkan citra Aceh sebagai
suatu bangsa yang pernah berjaya, dan untuk mencapai kejayaan itu maka segala
keragu-raguan harus dilenyapkan dari cita-cita besar.
Untuk
itu sangat diperlukan kepercayaan diri sendiri yang merupakan sumber yang harus
ditanamkan sebagai tenaga raksasa dalam jiwa generasi muda kita, bahwa sejarah
bukan hanya sebagai kenangan masa lalu yang cukup untuk dibangga-banggakan
saja, tetapi sesuatu yang agung yang menjadi motor yang harus mereka gunakan
untuk berjuang dengan langkah-langkah yang kontruktif bagi kepentingan
pembangunan Aceh secara keseluruhan.
Dengan
rasa bangga yang berlebihan dan negativisme saja tidaklah mungkin orang
menghidupkan pikiran kreatif dan mendorong bergeraknya pembangunan yang akan
meluas kesemua sektor kehidupan, sedangkan masa-masa yang telah berlalu
ditemukannya banyak orang yang mengatur kebijaksanaan yang baik selalu pula
orang salah melangkahkan kakinya, sehingga lahirlah masa jatuh bangun yang kini
sedang kita jalani.
Negativisme
begitu lama telah melekat dalam jiwa kita masyarakat Aceh, “Aceh Pungo” sebutan
yang sangat menghina menurut saya, tapi sering kita ucapkan sendiri untuk
menakuti orang agar jangan macam-macam dengan orang Aceh, ini salah satu yang
saya masih ingat saat remaja dulu, demikian juga saat kita merantau ke Jakarta
atau kota lainnya diluar Aceh, apakah itu lama atau sebentar tidak banyak
perbedaannya, maka saat kembali ke Aceh maka “ek leumo hana turi le” begitu
sebutannya, karena mereka sudah lupa bahasa Aceh. Hal inilah yang membuat
masyarakat Aceh bagai tertinggal dalam pembangunan setelah perjuangan panjang
dan dasyat dilaluinya.
Berbicara
masa kini, maka kondisinya juga semakin parah, banyak anak Aceh, Ayah dan
Ibunya Aceh, tapi karena tinggal di kota Banda Aceh, maka mereka tidak bangga
untuk berbahasa Aceh, mereka tidak bisa berbahasa Aceh, dan ironisnya
orangtuanya juga ikut bangga dengan “kebodohan” tersebut, betapa tidak disebut “Bodoh”,
bahasa adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang diakui dunia, walaupun itu
bahasa Aceh, Bahasa Aceh adalah salah satu kekayaan bahasa-bahasa di dunia.
Dengan
negativisme yang begitu kental dan kepercayaan diri yang begitu rendah,
bagaimana kita akan memulai pembangunan Aceh secara keseluruhan, pembangunan
yang akan meningkatkan citra masyarakat Aceh di tengah kacah pembangunan
Nasional, dan bagaimana kita akan menghadapi globalisasi dunia yang telah tiba?
“BANGUN”,
jangan terus bermimpi dan terus membangga-banggakan pada masa lalu yang tidak
akan kembali lagi, BANGUN!!!!
0 comments:
Post a Comment