Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mencoba membahas masalah empati ini dengan harapan dapat menjadi cermin bagi kita untuk mengukur tingkatan empati yang kita miliki sehingga kita dapat menentukan apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya.
Kepekaan sosial atau empati pada setiap orang bisa berbeda-beda. Empati biasanya tumbuh dari masa anak-anak, mengikuti pola asuh orang tua. Orang yang enggan berbagi akan tumbuh menjadi pribadi yang individualistis dan egosentris. Sementara mereka yang sejak kecil sering dilibatkan untuk memahami kesulitan orang lain, biasanya akan lebih peka dan mudah tergerak hatinya untuk menolong sesama.
Empati, adalah
melakukan sesuatu kepada orang lain, dengan menggunakan cara berpikir dari
orang lain tersebut, yang menurut orang lain itu menyenangkan, yang menurut
orang lain itu benar. Jadi, apa yang menurut Anda suatu kebaikan, bisa saja
sebenarnya malah mengganggu orang lain.
Menurut
Ubaydillah (2005) empati adalah kemampuan kita dalam menyelami perasaan orang
lain tanpa harus tenggelam di dalamnya. Empati adalah kemampuan kita dalam
mendengarkan perasaan orang lain tanpa harus larut.
Empati adalah kemampuan
kita dalam meresponi keinginan orang lain yang tak terucap. Kemampuan ini
dipandang sebagai kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan kita dengan
orang lain (connecting with). Selain itu Empati merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam melakukan hubungan antar pribadi dengan coba memahami suatu
permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Melalui empati,
individu akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu
permasalahan. Memahami orang lain akan mendorong antar individu saling berbagi.
Empati merupakan kunci pengembangan leadership dalam diri individu.
Dunia yang
semakin global dan ekonomi pasar yang penuh dengan persaingan ketat membuat
tenggang rasa dan empati sosial masyarakat semakin rendah. Itu kenapa seringkali terjadi konflik sosial di
masyarakat. Salah satu upaya yang dapat mencegah meluasnya dan meminimalkan
dampak negatif dari globalisasi adalah mensosialisasikan rasa empati sejak
dini. Keluarga adalah struktur sosial terkecil yang mampu membentengi patologi
sosial yang terus menggejala khususnya masyarakat Indonesia.
Secara naluriah
anak sudah mengembangkan empati sejak bayi. Awalnya empati yang dimiliki sangat
sederhana, yakni empati emosi. Misalnya pada usia 0-1 tahun, bayi bisa menangis
hanya karena mendengar bayi lain menangis, barulah di usia 1-2 tahun, anak
menyadari kalau kesusahan temannya bukanlah kesusahan yang mesti ditanggung
sendiri. Walaupun demikian, rasa empati pada anak harus diasah. Bila dibiarkan
rasa empati tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak sepenuhnya
hilang, tergantung dari lingkungan yang membentuknya.
salah satu faktor yang membuat orang sulit melakukan empati terhadap situasi yang membutuhkan pertolongan adalah tingkat stres yang dialaminya. Bila kondisi stresnya sangat tinggi, maka secara alamiah orang tersebut cenderung lebih fokus pada dirinya. Inilah yang sering terjadi pada masyarakat di kota-kota besar sekarang ini.
Stres ini bisa disebabkan oleh tuntutan sosial ekonomi, pekerjaan, keluarga, kondisi kemacetan yang makin parah, dan gaya hidup kota yang menuntut orang untuk selalu serba cepat dan 'up date' dengan segala informasi terkini -meskipun kadang tidak perlu. Sayangnya, tidak semua orang memiliki cara untuk mengelola stresnya dengan baik.
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan empati adalah dengan memberi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dari hal-hal yang kecil. Misalnya jika ada saudara yang sakit atau sedang berada dalam kesulitan, selayaknya kita menjenguknya dan memberi support. Tidak harus dalam bentuk materi, tapi cukup sediakan telinga dan pelukan hangat untuk menenangkan hatinya.
Begitu pula sikap kita terhadap lingkungan sekitar. Ketika ada tetangga yang tertimpa musibah, tak perlu ragu mengulurkan bantuan. Termasuk juga jika kita melihat usila atau orang penyandang disabilitas yang ingin menyeberang jalan. Semua contoh perilaku orang tua ini akan tertanam di dalam diri anak dan menjadikannya seorang yang peduli dan ringan tangan terhadap orang lain. Tentunya kita juga penting memberikan alasan mengapa kita melakukan tindakan tersebut.
Yang kedua dan tak kalah penting adalah menambah kemampuan mengelola stres dengan baik. Ketika hati seseorang marah, sedih, atau kecewa, pasti akan sulit untuk merasakan perasaan orang lain. Karena di saat sedang terselubung emosi, kita cenderung akan melihat orang lain dengan perasaan negatif juga. Untuk itu, lupakan semua gejolak emosi tersebut dengan cara yang positif seperti melakukan hobi yang kita sukai, meditasi, atau sekadar bermain dengan binatang piaraan kita di rumah. Dengan hati yang tenang dan damai, kita bisa cenderung melihat orang lain dan dunia dengan damai pula.
0 comments:
Post a Comment